Selasa, 31 Maret 2009

e-mail" may friend

K.H.Kolil Bangkalan

KH KHOLIL adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salahsatunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.
Seperti pernah dikisahkan KH Anwar Siradj, pe-ngasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab alfiyah, beliau mengalami kesulit-an. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.
Kiai Anwar sudah mencoba berguru kepada kiai-kiai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), Kiai Anwar dapat petunjuk, agar mempelajari kitab alfiyah di makam Mbah Kholil.
Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh Kiai Anwar ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal alfiyah,” jelas Ustadz Salim.
Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.
***
MBAH Kholil sempat menimba ilmu di Mekah selama belasan tahun. Satu angkatan dengan KH Hasyim Asy’ari. Selevel di bawahnya, ada KH Wahab Chasbullah dan KH Muhammad Dahlan.
Ada tradisi di antara kiai sepuh zaman dulu, meski hanya memberi nasihat satu kalimat, tetap dianggap sebagai guru Demikian juga yang terjadi di antara 4 ulama besar itu. Mereka saling berbagi ilmu pengetahuan, sehingga satu sama lain, saling memanggilnya sebagai tuan guru.
Menurut KH Muhammad Ghozi Wahib, Mbah Kholil paling dituakan dan dikeramatkan di antara para ulama saat itu. Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib.
”Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya,” katanya.
Kiai Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November, Mbah Kholil bersama kiai-kiai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, menge-rahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.
Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern. Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan kiai-kiai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar.
Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Di saat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar.
Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan. ”Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” papar Kiai Ghozi, cucu KH Wahab Chasbullah ini.
Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan.
Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyub,” cerita Ghozi.
Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngloyor masuk rumah, ganti baju.
Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.
”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” papar Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.

Sahabat Sejati

Apa yang kita alami demi teman kadang-kadang melelahkan dan menjengkelkan, tetapi itulah yang membuat persahabatan mempunyai nilai yang indah.
Persahabatan sering menyuguhkan beberapa cobaan, tetapi persahabatan sejati bisa mengatasi cobaan itu bahkan bertumbuh bersama
karenanya…
Persahabatan tidak terjalin secara otomatis tetapi membutuhkan proses yang panjang seperti besi menajamkan besi, demikianlah sahabat menajamkan sahabatnya.
Persahabatan diwarnai dengan berbagai pengalaman suka dan duka, dihibur - disakiti, diperhatikan - dikecewakan, didengar - diabaikan, dibantu - ditolak, namun semua ini tidak pernah sengaja dilakukan dengan tujuan kebencian.
Seorang sahabat tidak akan menyembunyikan kesalahan untuk menghindari perselisihan, justru karena kasihnya ia memberanikan diri menegur apa adanya.
Sahabat tidak pernah membungkus pukulan dengan ciuman, tetapi menyatakan apa yang amat menyakitkan dengan tujuan sahabatnya mau berubah.
Proses dari teman menjadi sahabat membutuhkan usaha pemeliharaan dari kesetiaan, tetapi bukan pada saat kita membutuhkan bantuan barulah kita memiliki motivasi mencari perhatian, pertolongan dan pernyataaan kasih dari orang lain, tetapi justru ia berinisiatif memberikan dan mewujudkan apa yang dibutuhkan oleh sahabatnya.
Kerinduannya adalah menjadi bagian dari kehidupan sahabatnya, karena tidak ada persahabatan yang diawali dengan sikap egoistis.
Semua orang pasti membutuhkan sahabat sejati, namun tidak semua orang berhasil mendapatkannya.
Banyak pula orang yang telah menikmati indahnya persahabatan, namun ada juga yang begitu hancur karena dikhianati sahabatnya.
** Mempunyai satu sahabat sejati lebih berharga dari seribu teman yang mementingkan diri sendiri ** «Dalam masa kesuksesan, teman-teman mengenal kita. Dalam kesengsaraan, kita mengenal teman-teman kita» Ingatlah kapan terakhir kali Anda berada dalam kesulitan.
Siapa yang berada di samping Anda ??Siapa yang mengasihi Anda saat Anda merasa tidak dicintai ??Siapa yang ingin bersama Anda saat Anda tak bisa memberikan apa-apa ??
MEREKALAH SAHABAT ANDA
Hargai dan peliharalah selalu persahabatan Anda dengan mereka.

K.H.Hasyim Asy'ari

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…Pendiri sebuah organisasi keagamaan, yang konon memiliki anggota terbesar, di seantero dunia Islam. Seorang ulama besar tanah air, yang teguh dengan ketinggian ilmu dan keluhuran pribadinya. Mari kita simak artikel pertama di rubrik Biografi ini, yang insya Allah akan disusul dengan kisah-kisah dan riwayat hidup orang-orang yang mengukir sejarah Islam, dan ummat Islam.KH M HASYIM ASY’ARIPendiri NU, Satu Guru dengan Pendiri Muhammadiyah
Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim Asy’ari dengan KH Mohammad Cholil, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil, begitu kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.” Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,” katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan Madura ini.
Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.
Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As’ad Syamsul Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.
Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’, mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai Hasyim.
Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya. Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut dipenjarakan bersama kiainya itu.
Mendirikan NU
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi darigurunya, Syekh Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.
Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kiai Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Keturunan Raja Pajang
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi, Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu, Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai Asy’ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan Kiai Cholil.
Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan. Kiai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kiai Ya’qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya. Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak (istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim, Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947. Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan Nasional.
Semoga Allah SWT mensucikan ruhnya dan menempatkannya di tempat muliadi sisi-Nya. Amin
.

K.H.Ahmad Mustafa Bisri

Kiyai, penyair, novelis, pelukis, budayawan dan cendekiawan muslim, ini telah memberi warna baru pada peta perjalanan kehidupan sosial dan politik para ulama. Ia kiyai yang bersahaja, bukan kiyai yang ambisius. Ia kiyai pembelajar bagi para ulama dan umat. Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, Rembang, Jawa Tengah, ini enggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.
KH Achmad Mustofa Bisri, akrab dipanggil Gus Mus, ini mempunyai prinsip harus bisa mengukur diri. Setiap hendak memasuki lembaga apapun, ia selalu terlebih dahulu mengukur diri. Itulah yang dilakoninya ketika Gus Dur mencalonkannya dalam pemilihan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu.“Saya harus bisa mengukur diri sendiri. Mungkin lebih baik saya tetap berada di luar, memberikan masukan dan kritikan dengan cara saya,” jelas alumnus Al Azhar University, Kairo (Mesir), ini, yang ketika kuliah mempunyai hobi main sepakbola dan bulutangkis. Setelah tak lagi punya waktu meneruskan hobi lamanya, ulama ini lalu menekuni hobi membaca buku sastra dan budaya, menulis dan memasak, termasuk masak makanan Arab dengan bumbu tambahan.
Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, dari keluarga santri. Kakeknya, Kyai Mustofa Bisri adalah seorang ulama. Demikian pula ayahnya, KH Bisri Mustofa, yang tahun 1941 mendirikan Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, adalah seorang ulama karismatik termasyur.
Ia dididik orangtuanya dengan keras apalagi jika menyangkut prinsip-prinsip agama. Namun, pendidikan dasar dan menengahnya terbilang kacau. Setamat sekolah dasar tahun 1956, ia melanjut ke sekolah tsanawiyah. Baru setahun di tsanawiyah, ia keluar, lalu masuk Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Kemudian pindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Di Yogyakarta, ia diasuh oleh KH Ali Maksum selama hampur tiga tahun. Ia lalu kembali ke Rembang untuk mengaji langsung diasuh ayahnya.
KH Ali Maksum dan ayahnya KH Bisri Mustofa adalah guru yang paling banyak mempengaruhi perjalanan hidupnya. Kedua kiyai itu memberikan kebebasan kepada para santri untuk mengembangkan bakat seni.
Kemudian tahun 1964, dia dikirim ke Kairo, Mesir, belajar di Universitas Al-Azhar, mengambil jurusan studi keislaman dan bahasa Arab, hingga tamat tahun 1970. Ia satu angkatan dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Menikah dengan Siti Fatimah, ia dikaruniai tujuh orang anak, enam di antaranya perempuan. Anak lelaki satu-satunya adalah si bungsu Mochamad Bisri Mustofa, yang lebih memilih tinggal di Madura dan menjadi santri di sana. Kakek dari empat cucu ini sehari-hari tinggal di lingkungan pondok hanya bersama istri dan anak keenamnya Almas.
Setelah abangnya KH Cholil Bisri meninggal dunia, ia sendiri memimpin dan mengasuh Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin, didampingi putra Cholil Bisri. Pondok yang terletak di Desa Leteh, Kecamatan Rembang Kota, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, 115 kilometer arah timur Kota Semarang, itu sudah berdiri sejak tahun 1941.
Keluarga Mustofa Bisri menempati sebuah rumah kuno wakaf yang tampak sederhana tapi asri, terletak di kawasan pondok. Ia biasa menerima tamu di ruang seluas 5 x 12 meter berkarpet hijau dan berisi satu set kursi tamu rotan yang usang dan sofa cokelat. Ruangan tamu ini sering pula menjadi tempat mengajar santrinya.
Pintu ruang depan rumah terbuka selama 24 jam bagi siapa saja. Para tamu yang datang ke rumah lewat tengah malam bisa langsung tidur-tiduran di karpet, tanpa harus membangunkan penghuninya. Dan bila subuh tiba, keluarga Gus Mus akan menyapa mereka dengan ramah. Sebagai rumah wakaf, Gus Mus yang rambutnya sudah memutih berprinsip, siapapun boleh tinggal di situ
.

Ulama Pesantren Buntet

KH. Abbas Djamil Buntet (1879 – 1946)Memadukan Kitab Kuning dan Ilmu Kanuragan
Latar Belakang Keluarga
Kiai Abas adalah putra sulung KH. Abdul Jamil yang dilahirkan pada hari Jumat 24 Zulhijah 1300 H atau 1879 M di desa Pekalangan, Cirebon. Sedangkan KH. Abdul Jamil adalah putra dari KH. Muta’ad yang tak lain adalah menantu pendiri Pesantren Buntet, yakni Mbah Muqayyim salah seorang mufti di Kesultanan Cirebon.
Pendidikan
Kiai Abbas pertama ia belajar pada ayahnya sendiri. KH. Abdul Jamil. Setelah menguasai dasar-dasar ilmu agama baru pindah ke pesantren Sukanasari, Plered, Cirebon dibawah pimpinan Kiai Nasuha. Setelah itu, ia pindah lagi ke sebuah pesantren salaf di daerah Jatisari dibawah pimpinan Kiai Hasan, kemudian beliau meneruskan ke sebuah pesantren di Jawa Tengah,tepatnya di kabupaten Tegal yang diasuh oleh Kiai Ubaidah.Setelah berbagai ilmu keagamaan dikuasai, maka selanjutnya ia pindah ke Pesantren Tebuireng, Jombang di bawah asuhan Hadratusyekh Hasyim Asy’ari. Pesantren Tebuireng itu menambah kematangan kepribadian Kiai Abbas, sebab di pesantren itu ia bertemu dengan para santri lain dan kiai yang terpandang seperti KH. Abdul Wahab Chasbullah (tokoh dan sekaligus arsitek berdirinya NU) dan KH. Abdul Manaf turut mendirikan pesantren Lirboyo, kediri Jawa Timur.Kemudian beliau melanjutkan belajar ke Mekkah Al-Mukarramah di bawah asuhan Syaikh KH. Machfudz Termas (asal Pacitan, Jatim). Di Mekkah, ia kembali bersama-sama dengan KH. Bakir Yogyakarta, KH. Abdillah Surabaya dan KH. Wahab Chasbullah Jombang. Sebagai santri yang sudah matang, maka di waktu senggang Kiai Abbas ditugasi untuk mengajar pada para mukimin (orang-orang Indonesia yang tertinggal di Mekkah). Santrinya antara, KH. Cholil Balerante, Palimanan, KH. Sulaiman Babakan, Ciwaringin dan santri-santri lainnya.
Memimpin Pesantren Buntet
bermodal ilmu pengetahuan yang diperoleh dari berbagai pesantren di Jawa, kemudian dipermatang lagi dengan keilmuan yang dipelajari dari Mekah, serta upayanya mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang terjadi di Timur Tengah pada umumnya, maka mulailah Kiai Abbas memegang tampuk pimpinan Pesantren Buntet Warisan dari nenek moyangnya.Sebagai seorang Kiai muda yang energik ia mengajarkan berbagai khazanah kitab kuning, namun tidak lupa memperkaya dengan ilmu keislaman modern yang mulai berkembang saat itu. Maka kitab karya ulama Mesir seperti tafsir Tontowi Jauhari mulai diperkenalkan pada para santri. Demikian juga tafsir Fakhrurrozi juga diajarkan. Dengan adanya pengetahuan yang luas itu pengajaran ushul fikih mencapai kemajuan yang sangat pesat, sehingga pemikiran fikih para alumni Buntet sejak dulu sudah sangat maju. Dengan sikapnya itu maka nama Kiai Abbas dikenal ke seluruh Jawa, sebagai seorang ulama yang alim dan berpemikiran progresif. Namun demikian ia tetap rendah hati pada para santrinya.
Melawan Penjajah Belanda
Walaupun saat itu, Kiai Abbas sudah berumur sekitar 60 tahun, tetapi tubuhnya tetap gagah dan perkasa. Dalam tradisi pesantren, selain dikenal dengan tradisi ilmu kitab kuning, juga dikenal dengan tradisi ilmu bela diri, yang keduanya wajib dipelajari. Apalagi dalam menjalankan misi dakwah dan berjuang melawan penjahat dan penjajah. Kehadiran ilmu bela diri menjadi sebuah keharusan.Oleh karena itu ketika usianya mulai senja, sementara perjuangan kemerdekaan saat itu sedang menuju puncaknya, maka pengajaran ilmu kanuragan dirasa lebih mendesak untuk mencapai kemerdekaan.Maka dengan berat hati terpaksa ia tinggalkan kegiatannya mengajar kitab-kitab kuning pada ribuan santrinya. Sebab yang menangani soal itu sudah diserahkan sepenuhnya pada kedua adik kandungnya, KH. Anas dan KH. Akyas. Sementara Kiai Abbas sendiri, setelah memasuki masa senjanya, lebih banyak memusatkan perhatian pada kegiatan dakwah di Masyarakat dan mengajar ilmu-ilmu kesaktian atau ilmu beladiri, sebagai bekal masyarakat untuk melawan penjajah.Tampaknya ia mewarisi darah perjuangan dari kakeknya yaitu Mbah Qoyyim, yang rela meninggalkan istana Cirebon karena menolak kehadiran Belanda.
Dengan gerakan itu maka pesantren Buntet dijadikan sebagai markas pergerakan kaum Republik untuk melawan penjajahan. Mulai saat itu Pesantren Buntet menjadi basis perjuangan umat Islam melawan penjajah yang tergabung dalam barisan Hizbullah. Sebagaimana Sabilillah, Hizbullah juga merupakan kekuatan yang tanggung dan disegani musuh, kekuata itu diperoleh berkat latihan-latihan berat yang diperoleh dalam pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Cibarusa semasa penjajahan Jepang. Organisasi perjuangan umat Islam ini didirikan untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah. Anggotanya terdiri atas kaum tua militan. Organisasi ini di Pesantren Buntet, diketuai Abbas dan adiknya KH. Anas, serta dibantu oleh ulama lain seperti KH. Murtadlo, KH. Soleh dan KH. Mujahid.Karena itu muncul tokoh Hizbullah di zaman pergerakan Nasional yang berasal dari Cirebon seperti KH. Hasyim Anwar dan KH. Abdullah Abbas putera Kiai Abbas. Ketika melakukan perang gerilya, tentara Hizbullah memusatkan pertahahannya di daerah Legok, kecamatan Cidahu, kabupaten Kuningan, dengan front di perbukitan Cimaneungteung.Selain mendirikan Hisbullah, pada saat itu di Buntet Pesantren juga dikenal adanya organisasi yang bernama Asybal. Inilah organisasi anak-anak yang berusia di bwah 17 tahun. Organisasi ini sengaja dibentuk oleh para sesepuh Buntet Pesantren sebagai pasukan pengintai atau mata-mata guna mengetahui gerakan musuh sekaligus juga sebagai penghubung dari daerah pertahanan sampai ke daerah front terdepan. Semasa perang kemerdekaan itu, banyak warga Buntet Pesantren yang gugur dalam pertempuran. Diantaranya adalah KH. Mujahid, kiai Akib, Mawardi, Abdul Jalil, Nawawi dan lain-lain.Basis kekuatan laskar yang dibangun oleh Kiai Abbas itu kemudian menjadi pilar penting bagi tercetusnya revolusi November di surabaya tahun 1946. Peristiwa itu terbukti setelah Kiai Hasyim Asyari mengeluarkan resolusi jihad pada 22 Oktober 1946, Bung Tomo segera datang berkonsultasi pada KH. Hasyim Asy’ari guna minta restu dimulainya perlawanan terhadap tentara Inggris. Tetapi kiai Hasyim menyarankan agar perlawanan rakyat itu jangan dimulai terlebih dahulu – sebelum KH. Abbas, sebagai Laskar andalannya belum datang ke Surabaya. Memang setelah itu laskar dari pesantren Buntet, di bawah pimpinan KH. Abbas beserta adiknya KH. Anas, mempunyai peran besar dalam perjuangan menentang tentara Inggris yang kemudian dikenal dengan peristiwa 10 november 1945 itu. Atas restu Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, ia terlibat langsung dalam pertempuran Surabaya tersebut.
Dialah santri yang mempunyai beberapa kelebihan, baik dalam bidang ilmu bela diri maupun ilmu kedigdayaan. Dan tidak jarang, KH. Abbas diminta bantuan khusus yang berkaitan dengan keahliannya itu.Hubungan Kiai Hasyim dengan Kiai Abbas memang sudah lama terjalin, terlihat ketika pertama kali Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantrean Tebuireng, Kiai sakti dari Cirebon itu banyak memberikan perlindungan, terutama saat diganggu oleh para penjahat setempat, yang merasa terusik oleh kehadiran pesantren Tebuireng. Sekitar tahun 1900, KH. Abbas datang dari Buntet bersama kakak kandungnya, KH.Soleh Zamzam, Benda Kerep, KH.Abdullah Pengurangan dan Kiai Syamsuri Wanatar. Berkat kehadiran mereka itu para penjahat yang dibeking oleh Belanda, penguasa pabrik gula Cukir itu tidak lagi mengganggu pesantren tebuireng, kapok tidak berani mengganggu lagi. Tradisi pesantren antara kanuragan, moralitas dan kitab kuning saling menopang, tanpa salah satunya yang lain tidak berjalan, karena itu semua merupakan tradisi dalam totalitasnya.
Berjuang hingga Akhir Hayat
Walaupun revolusi November dimenangkan oleh laskar pesantren dengan penuh gemilang, tetapi hal itu tidak membuat mereka terlena, sebab Belanda dengan kelicikannya akan selalu mencari celah menikam Republik ini. Karena itu Kiai Abbas selalu mengikuti perkembangan politik, baik di lapangan maupun di meja perundingan. Di tengah gigihnya perlawanan rakyat terhadap penjajah, misi diplomasi juga dijalankan, semuanya itu tidak terlepas dari perhatian para ulama. Karena itu betapa kecewanya para pejuang, termasuk para ulama yang memimpin perang itu, ketika sikap para diplomat kita sangat lemah, banyak mengalah pada keinginan Belanda dalam Perjanjian Linggar Jati tahun 1946 itu. Mendengar hasil perjanjian itu Kiai Abbas sangat terpukul, merasa perjuangannya dikhianati, akhirnya jatuh sakit, yang kemudian mengakibatkan Kiai yang sangat disegani sebagai pemimpin gerilya itu wafat pada hari Ahad pada waktu subuh, 1 Rabiul Awal 1365 atau 1946 Masehi, kemudian dikuburkan di pemakaman Buntet Pesantren.Hingga saat ini karakter perjuangan masih terus ditradisikan di Pesantren Buntet, pada masa represi Orde Baru pesantren ini dengan gigihnya mempertahankan independensinya dari tekanan rezim itu. Tetapi semuanya dijalankan dengan penuh keluwesan, sehingga orde baru juga tidak menghadapinya dengan frontal. Akibatnya pada masa ramainya gerakan reformasi pikiran dan pandangan Kiai Abdullah Abbas sangat diperhatikan oleh semua para penggerak reformasi, baik dari kalangan NU maupun komunitas lainnya. Itulah Peran sosial keagamaan pesantren Buntet yang dirintis Mbah Qoyyim dilanjutkan oleh Kiai Abbas, kemudian diteruskan lagi oleh Kiai Abdullah Abbas menjadikan Buntet sebagai Pesantren perjuangan.
Bacalah perjuangan hidup para ulama pendahulu kitaAmbillah hikmah dan tauladan Niscaya hidup kita penuh makna dan arti

K.H.Bisri Mustofa, Rembang(1915-1977)


Mbah Bisri Mustofa, adalah figur kiai yang alim dan kharismatik. Pendiri pondok pesantren Raudhatut Thalibin Rembang Jawa Tengah ini, dilahirkan di Kampung Sawahan Gang Palen Rembang Jawa Tengah pada tahun 1915.Semula, oleh kedua orang tuanya, H. Zaenal Mustofa dan Chotijah, ia diberi nama Mashadi, setelah menunaikan ibadah haji pada tahun 1923 ,ia mengganti nama dengan Bisri. Selanjutnya ia dikenal dengan nama Bisri Mustofa. Mbah Bisri, belajar dan menekuni ilmu-ilmu agama di pesantren Kasingan Rembang, yang diasuh oleh Kiai Cholil,dipesantren ini, Mbah Bisri muda, menekuni ilmu-ilmu agama ,terutama ilmu nahwu, dengan kitab Alfiah sebagai pegangan utamanya.. Selain di pesantren Kasingan, Mbah Bisri juga mengaji pasanan (pengajian pada bulan puasa) di pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH Hasyim Asy’ari.dan untuk memperdalam ilmunya, Mbah Bisri juga mengaji di kota suci Makah tahun 1936, kepada Kiai Bakir, Syaikh Umar, Syaikh Umar Khamdan al-Maghribi, Syaikh Maliki, Sayyid Amin, Syaikh Hasan Masysyath, dan Kiai Muhaimin. Kiai Cholil Kasingan, selain sebagai guru, beliau juga sebagai mertua Mbah Bisri, ia dinikahkan dengan putri Kiai Cholil yang bernama Ma’rufah. Setelah wafatnya Kiai Cholil, Mbah Bisri ikut aktif mengajar di pesantren milik mertuanya tersebut di Kasingan Rembang. Selanjutnya sewaktu pesantren Kasingan bubar, seiring pendudukan Jepang, Mbah Bisri meneruskan pesantren tersebut dengan mendirikan pesantren di Leteh Rembang yang kemudian diberi nama pesantren Raudhatut Thalibin. Pesantren ini sampai sekarang berkembang sangat pesat.
Sosok demokratis, sayang terhadap putra-putri, santri dan umat
Dalam mendidik santri-santrinya Mbah Bisri mengedepankan kasih sayang dan kesuriteladanan. Karena cintanya kepada para santri, dalam setiap kali mengisi ceramah, Mbah Bisri selalu memohon kepada Allah SWT seandainya pengajiannya itu mendapat imbalan pahala dari Allah SWT maka sebaiknya pahala itu diganti supaya hati para santri cepat terbuka. Ini merupakan pengakuan Mbah Bisri sendiri sebagaimana kesaksian muridnya KH Wildan Abdulchamid, Ketua MUI Kendal. Mbah Bisri juga sangat dekat dan sayang dengan umat, dari kelas mana saja. Beliau menerima siapa saja yang bertamu ke rumahnya, tak pandang derajat dan pangkatnya. Rumahnya terbuka untuk umum. Beliau juga menghadiri setiap undangan ceramah dari siapa pun. Kecuali jika ada halangan yang benar-benar memaksanya untuk tidak bisa hadir. Terhadap putra-putrinya pun Mbah Bisri juga sangat sayang dan dalam mendidik dikenal cukup demokratis.
Produktif menulis
Ditengah kesibukannya mengajar di pesantren, menjadi penceramah, bahkan politisi. Mbah Bisri tetap menyempatkan diri untuk menulis, dan waktu luangnya tidak dilewatkannya begitu saja, bahkan di kereta, di bus, di mana saja , beliau sempatkan untuk menulis. Banyak kitab yang berhasil disusunnya, di antara karyanya adalah, tafsir Al-Ibriz, kitab Al-Usyuthy terjemahan kitab Imrithy, dan kitab Ausathul Masalik terjemahan kitab Alfiyah Ibnu Malik.
Agamawan moderat
Pemikiran keagamaan Mbah Bisri oleh banyak kalangan dinilai sangat moderat. Sifat moderat Mbah Bisri merupakan sikap yang diambil dengan menggunakan pendekatan ushul fiqh yang mengedepankan kemashlahatan dan kebaikan umat Islam yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman serta masyarakatnya. Pemikiran Mbah Bisri sangat kontekstual. Mbah Bisri Mustofa,adalah seorang ulama Sunni, yang gigih memperjuangkan konsep “Ahlus Sunnah Wal Jamaah”. Obsesinya untuk membumikan konsep Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dibuktikan dengan dibuatnya buku tentang “Ahlus Sunnah Wal Jamaah”.
Menjadi pejuang gigih dan macan podium
Darah pejuang agaknya sudah kental dalam diri Mbah Bisri. Sejak era penjajahan Belanda, Jepang, era kemerdekaan, sampai akhir hayatnya, Beliau adalah pejuang yang gigih. Setelah Indonesia merdeka, Mbah Bisri sangat bersemangat untuk ikut membangun bangsa ini. Dalam kancah politik beliau disegani oleh semua kalangan. Sebelum NU keluar dari Masyumi, Mbah Bisri merupakan aktivis Masyumi yang gigih berjuang. Akan tetapi setelah NU menyatakan keluar dari Masyumi, Beliau total berjuang untuk NU. Tahun 1955 Mbah Bisri menjadi anggota konstituante, wakil dari Partai NU. Setelah tahun 1959 terbit Dekrit Presiden yang membubarkan Dewan Konstituante dan dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, Mbah Bisri masuk di dalamnya. Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang orator handal, Singa podium. Dalam setiap kampanye beliau selalu menjadi juru kampanye andalan dari partainya. Menurut KH Syaifudin Zuhri, teman seperjuangan di NU, yang mantan Menteri Agama, Mbah Bisri merupakan sosok yang cukup pandai berpidato, dengan mengutarakan hal-hal yang sebenarnya sulit, menjadi gamblang dan mudah diterima oleh orang desa maupun kota, sesuatu yang membosankan, menjadi mengasyikkan, kritik-kritiknya tajam, meluncur begitu saja dengan lancar dan menyegarkan. Pihak yang terkena kritik tidak marah karena disampaikan dengan sopan dan menyenangkan. Selain itu, beliau mampu menghibur dengan humor-humornya yang membuat semua orang tertawa terpingkal-pingkal. Di samping politisi gigih dan singa podium, Mbah Bisri juga dikenal sebagai seorang pelobi dan negosiator yang sangat handal. Pergulatan di dunia politik tetap dijalani Mbah Bisri hingga era pemerintahan orde baru. Ketika semua partai Islam (termasuk NU) harus berfusi ke Partai persatuan Pembangunan (PPP), Mbah Bisri terlibat aktif membesarkan PPP. Beliau menjadi tokoh yang disegani di partai tersebut. Menjelang masa kampanye Pemilu 1977,yang kurang seminggu lagi, tepatnya hari Rabu, 17 Februari 1977 (27 Shafar 1397 H), waktu asar, Mbah Bisri, salah seorang ulama besar umat ini, dipanggil ke haribaan Allah SWT. Mbah Bisri Mustofa wafat di Rumah sakit Dr. Karyadi Semarang karena serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan gangguan pada paru-paru. Saat pemakaman Mbah Bisri, masyarakat Rembang dan umumnya Jawa Tengah bahkan juga, dari berbagai pelosok negeri ini, berdatangan dan bertakziah, untuk memberikan penghormatan kepada almaghfurlah. Ratusan ribu pelayat rela berdesak-desakan,untuk menghadiri upacara pemakaman. Tidak jarang yang berebut untuk dapat mencium pipi almaghfurlah,sebagai tanda cinta dan penghormatan . Umat merasakan betul telah ditinggalkan seorang kiai, ulama, pemimpin, sekaligus bapak.serta Singa Podium yang produktip menulis,Karya karyanya akan abadi. Semoga Allah SWT memberi tempat yang mulia kepada Beliau. Dan umatnya yang ditinggalkan bisa mengambil suri tauladan dan meneruskan semangat juang Beliau. Amin.

Senin, 30 Maret 2009

K.H.Wahab Chasbullah

Pendidikan beliau
KH. Wahab Chasbullah lahir pada bulan Maret 1888 M. dari pasangan Kyai Chasbullah dan Nyai Lathifah di Tambakberas Jombang. Keluarga Chasbullah, pengasuh pondok Tambakberas ini masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan KH. Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan KH. Abdussalam. Sejak kecil beliau dididik secara langsung oleh ayahnya. Beliau diajari pendidikan agama, seperti membaca al-Qur’an, tasawuf, dsb. Setelah dipandang cukup, KH. Wahab berkelana ke berbagai pesantren untuk berguru, di antaranya di Pesantren Langitan-Tuban, Pesantren Mojosari-Nganjuk di bawah bimbingan Kyai Sholeh, Pesantren Tawangsari-Surabaya, dan Pesantren Bangkalan-Madura di bawah bimbingan langsung Kyai Kholil yang masyhur itu. Oleh Kyai Kholil, Kyai Wahab disuruh berguru di Pesantren Tebuireng. Di berbagai pesantren inilah KH. Wahab menimba pengetahuan dan pengalaman. Beliau mempelajari kitab-kitab penting keagamaan sampai mahir. Pada usia 27 tahun KH. Wahab meneruskan pendidikannya ke Makkah. Di kota suci itu beliau berguru kepada ulama terkenal diantaranya KH. Machfudz Termas, KH. Muhtarom Banyumas, Syekh Ahmad Chotib Minangkabau, KH. Bakir Yogyakarta, KH. Asya’ri Bawean, Syekh Said al-Yamani dan Syekh Umar Bajened. Semua itu menambah lengkapnya wawasan sosial dan pengetahuan keagamaan KH. Wahab. Melihat riwayat pendidikannya, tidak heran jika di kalangan ulama dan para pejuang sebayanya, KH. Wahab tampak paling menonjol di segi wawasan pemikiran dan pengetahuannya.
kebiasaan Beliau
Seperti kebiasaan pola hidup di pesantren, KH. Wahab pun hidup dengan sangat sederhana. Untuk memenuhi nafkah keluarganya, KH. Wahab berdagang apa saja yang penting halal. Di antaranya beliau pernah berdagang nila dan pernah menjadi perwakilan sebuah biro perjalanan haji. Karena banyaknya bidang usaha yang digeluti, beliau mempercayakan pengelolalaan usahanya kepada orang lain dengan cara bagi hasil. KH. Wahab selalu dilukiskan sebagai orang yang energik, penuh semangat, ramah dan berwibawa. Pancaran sinar wajahnya menyimpan aura kelembutan dan kasih sayang. Selanjutnya KH. Saifuddin Zuhri juga melukiskan bahwa KH. Wahab adalah ulama yang mempunyai pengetahuan sangat luas, tidak terbatas pada bidang agama saja. Orang yang pernah dekat dengannya tidak pernah jemu mendengarkan uraian kata-katanya yang serba baru dan selalu mengandung nilai-nilai kebenaran. KH. Wahab bukan termasuk golongan ulama “klise”. Tindak tanduk dan tutur katanya selalu orisinal yang keluar dari perbendaharaan ilmu dan pengalamannya. Beliau tidak pernah merasa canggung saat berbicara di muka ribuan manusia. Beliau tidak bangga bila berbicara di hadapan orang banyak, begitu juga tidak pernah kecewa bila yang mengerumuni sedikit orangnya. Selain karena kecerdasan otaknya, retorika penyampaiannya juga menarik sehingga setiap uraian kata-katanya dapat didengar dan dicerna dengan baik dan tidak membosankan. Bagi warga NU, KH. Wahab tidak sekadar tokoh dan pendiri, melainkan juga sebagai simbol pemersatu, yang menarik juga adalah tradisi intelektualnya di kalangan ulama pesantren. Diceritakan bahwa KH. Wahab mendirikan, memelihara dan membesarkan NU dengan ilmunya, baru kemudian dengan harta dan tenaganya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika orang menyebut KH. Wahab adalah ruh sekaligus motor penggerak NU, sejak NU berwujud kelompok kecil yang tidak diperhitungkan sampai menjadi jam’iyah Islam terbesar di Indonesia.
Kiai penuh prestasi
Prestasi-Prestasi KH. Wahab Chasbullah sangat banyak sekali. Seperti mendirikan kelompok diskusi Tashwirul Afkar tahun 1914, mendirikan pergerakan Nahdlatul Wathan dan Syubbanul Wathan bersama KH. Mas Mansur, memprakarsai pembentukan Komite Hijaz, memprakarsai berdirinya NU. Di bidang jurnalistik, dia merintis majalah Suara Nahdhatul Ulama yang terbit setengah bulan sekali. Beliau memandang, bahwa dengan majalah gagasan-gagasan NU dapat tersebar secara lebih efektif dan efisien. Sebelumnya gagasan NU hanya dijalankan melalui dakwah dari panggung ke panggung dan pengajaran di pesantren. Selain itu beliau bersama dengan tokoh NU lainnya membeli gedung di Jalan Sasak 23 Surabaya sebagai pusat aktivitas NU. Berangkat dari gagasn KH. Wahab di bidang jurnalistik ini kemudian menyusul terbitnya majalah-malajah lain, seperti Suluh Nahdlatul Ulama dipimpin Umar Burhan, Terompet Ansor dipimpin Tamyiz Khudlory dan majalah Penggugah yang berbahasa Jawa dipimpin oleh K. Raden Iskandar yang kemudian digantikan Saifuddin Zuhri. Dari tradisi jurnalistik ini, NU pernah mempunyai jurnalis-jurnalis ternama seperti Asa Bafaqih, Saifuddin Zuhri dan Mahbub Junaidi. KH. Wahab juga dikenal sebagai pengatur strategi perjuangan yang baik dalam kancah politik Islam. Beberapa prestasinya adalah seperti pembentukan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), GAPPI (Gabungan Partai Politik Indonesia) dan Masyumi. Lewat pergerakan inilah KH. Wahab terlibat dengan tokoh-tokoh terkemuka, seperti K. Mas Mansur, Dr. Sukiman, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Sartono, Sukarjo Wiryopranoto, Amir Syarifuddin, dsb. Tidak salah lagi, jika KH. Wahab dikategorikan salah seorang yang mempunyai andil terbesar dalam meletakkan dasar-dasar organisasi NU. Hampir di semua sektor beliau menggagas ide-ide yang cemerlang untuk perkembangan NU mulai dari tradisi intelektual, jurnalistik, peletak dasar struktur Syuriah dan Tanfidziyah NU, sampai siasat bertempur di medan laga. Karena beliau mempunyai prinsip, “kalau kita mau keras harus punya keris.” Artinya kalau ingin besar seseorang harus mempunyai kekuatan, baik kekuatan politik, militer maupun batin. Selain prestasi-prestasi yang tersebut di atas perlu dicatat juga dalam diri KH. Wahab adalah keaktifannya dalam gerakan-gerakan melawan penjajah untuk membebaskan negara ini dari kungkungan penjajajah seperti dibuktikannya dalam Laskar Hizbullah pimpinan KH. Zainal Arifin, Laskar Sabilillah pimpinan KH. Masykur dan Barisan Kyai pimpinan beliau sendiri untuk berperang melawan penjajah.Prestasi gemilang lainnya adalah keberhasilannya memperjuangkan kepentingan kaum sunni untuk mendapat perlindungan dan kebebasan di negara Arab Saudi dalam Kongres Dunia Islam di Mekkah. Pada saat itu Raja Saud Arab Saudi melarang berkembangnya faham sunni di negara kekuasaannya. Akan tetapi karena usulan KH. Wahab beserta tokoh-tokoh Islam yang tergabung dalam Komite Hijaz, diantaranya K. Bisri Sansuri, K. Ridwan Semarang, KH. Raden Asnawi Kudus, K. Nawawi Pasuruan, K. Nachrowi Malang dan K. Alwi Abdul Aziz Surabaya akhirnya Raja Saud membebaskan faham sunni hidup dan berkembang di Mekkah. Wafatnya KH. Wahab Chasbullah Sebelum wafat KH. Wahab masih sempat menghadiri Muktamar NU ke-25 di Surabaya dan terpilih sebagai Ro’is ‘Am PBNU. Pun juga masih bisa memberikan suaranya bagi partai NU dalam pemilu tahun 1971. Menurutnya menghadiri Muktamar NU dan memberikan suara pada pemilu adalah bagian dari salah satu perjuangan, karena perjuangan adalah bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan. Tetapi empat hari setelah Muktamar NU di Surabaya, kyai yang banyak berjasa terhadap bangsa ini dipanggil kehadirat Allah swt. Beliau wafat pada 29 Desember 1971 di kediamannya yang sederhana di kompleks pesantren Tambakberas, Jombang. Dalam khutbah iftitah terakhir sebagai Rois ‘Am, KH. Wahab mengharapkan supaya NU tetap menemukan arah jalannya dengan selalu menyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah swt. sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan melalui cara-cara yang sesuai dengan akhlak Ahlussunnah wal- Jama’ah. Beliau juga mengingatkan agar kaum Nahdliyin kembali pada jiwa Nahdlatul Ulama tahun 1926 atau lebih dikenal dengan khittah NU 1926. Demikianlah sosok KH. Wahab Chasbullah, kyai yang diberkati memperoleh kesempatan hidup dalam tiga zaman, zaman penjajahan, zaman kemerdekaan (orde lama) dan zaman pembangunan (Orde Baru).

K.H.Abdul Hamid

Beliau lahir di Lasem Rembang tahun 1333 H. Sejak kecil beliau diasuh oleh ayahnya mengaji di musholla dekat rumahnya. Ketika KH.Siddiq singgah di Lasem ia mengajak Kyai Hamid menunaikan ibadah haji dan ziarah ke makam Rasululloh SAW. Sepulang dari Makkah pada usia 15 tahun beliau mondok di pesantren Tremas, pacitan. Di Tremas inilah potensi spiritual kyai Hamid mulai terasa. Kecemerlangan spiritualnya membuat kagum banyak pihak, hingga tidak sedikit kawan beliau menjadkan kyai Hamid sebagai guru, dan mengikuti jejak beliau ke Pasuruan.
Kyai Hamid menikah dengan putri Kyai Ahmad Qusairy Kebonsari Pasuruan, lalu beliau tinggal dan menetap di Pasuruan. kehidupan kyai Hamid teramat sederhana, beliau bekerja sebagai guru ngaji dan juga sebagai belantik di daerah bangil dengan jarak kurang lebih 15 km sebelah barat Pasuruan. Setiap hari beliau ke sana dengan menggunakan sepeda, beliau menjalani itu semua dengan tabah. Sampai-sampai beliau hanya mempunyai satu sarung yang sudah menerawang sangking tuanya sehingga setiap sholat beliau menutupinya dengan sorban.
Periode pasuruan adalah periode emas dari perjalanan spiritual beliau. Disinilah beliau mulai mengasah diri dengan pancaran ruhhul ilahiyah yang begitu cemerlang. Di Pasuruan ini pula beliau semakin mendekatkan diri pada kalangan ulama dan habaib khususnya dengan Habib Ja’far bin Syaikhon Assegaf Pasuruan yang merupakan guru utama beliau. Kyai Hamid memiliki sifat zuhud dan tawadhu yang jarang dimiliki oleh orang lain. Bahkan ketika Habib Ja`far wafat ketika ziaroh ke makamnya ia tidak berani duduk lurus pada posisi kepala tapi selalu duduk pada posisi kaki Habib Ja`far. Inilah sifat tawaddhu beliau yang sangat tinggi.
Kyai Hamid meninggal pada tanggal 9 Rabiul Awal 1403 H, umatpun menangis, gerak kehidupan di pasuruan seakan terhenti, bisu oleh luka yang dalam, puluhan bahkan ratusan ribu orang membanjiri Pasuruan, memenuhi masjid Agung Al Anwar dan alun-alun serta memadati gang-gang dan ruas jalan di depannya. Beliau dimakamkan di turba belakang masjid Agung Al Anwar Pasuruan. Ribuan umat selalu menziarahinya setiap waktu mengenang jasa dan cinta beliau kepada umat.

Ilmuan

Ilmuwan Menemukan Sebuah Planet Besar
Oleh Lulu
Kamis, 21 Desember 2006 00:00:00
Klik: 329



Klik untuk melihat foto lainnya...
Menurut laporan space.com Rusia pada 9/9/2006, bahwa para astronom telah menemukan sebuah planet dengan volume terbesar yang ditemukan hingga saat ini.
Massa dari planet super ini adalah 12 kali lipatnya Jupiter. Sebab kenapa ia bisa membuat para astronom takjub adalah karena benda langit dengan ukuran sedemikian semestinya berevolusi menjadi sebuah bintang tetap, namun, kenyataannya tidak demikian. Dalam sejumlah besar kondisi, para ilmuwan pasti akan menyatakan planet raksasa ini sebagai bintang cebol merah atau coklat.
Jarak CHXR 73 dengan bintang tetap yang beredar mengitarinya kurang lebih 32 miliar km (hampir 200 kali lipat jarak bumi dengan matahari).hasil penelitian menunjukkan, bahwa CHXR 73 dan bintang tetap hampir terbentuk secara bersamaan pada 2 juta tahun lampau.
Menurut penuturan seorang profersor dari Pennsylvania of University : kedua benda langit ini belum tentu hasil evolusi dari sebuah piring debu pertama yang sama. Hasil kalkulasi kami menunjukkan, bahwa jika mereka berevolusi dari piring yang sama, maka jarak keduanya tidak akan lebih dari 3 miliar km.
'Planet Baru yang Misterius'
Menurut laporan science. com, bahwa ilmuwan telah menemukan sebuah planet baru yang besar di luar tata surya, namun, bobotnya lebih ringan dari perkiraan semula, dan ini mau tidak mau membuat ilmuwan memeriksa kembali teori pembentukan planet. Sejak masa pertengahan tahun 90-an abad ke-20, secara berturut-turut para ilmuwan telah menemukan sekitar 200 planet di luar sistem tatasurya.
Menurut penuturan astronom dari Smithsonian Astrophysical Observatory Universitas Harvard, bahwa planet terbaru yang ditemukan ini jaraknya sekitar 450 tahun cahaya dari bumi, dan dinamakan HAT-P-1, adalah planet terbesar di luar sistem tata surya yang ditemukan manusia saat ini. Planet-planet di luar sistem tata surya ini tidak dapat diamati secara langsung dengan teleskop, tapi, dapat diselidiki dengan beberapa cara perantaraan. Saat jarak mereka agak berdekatan dengan bintang tetap dalam galaksi, gravitasinya dapat membuat bintang tetap menghasilkan guncangan yang sangat lemah, dengan demikian guncangan bintang tetap akan dapat diamati dari bumi, dan membuktikan akan eksistensi planet. Selain itu, melalui keterangan cahaya yang terhalang saat bintang tetap melintasi planet, ilmuwan juga bisa membuktikan eksistensi mereka. Planet ini sangat dekat dengan bintang tetap yang berputar mengelilinginya, adalah 1/7 jarak Merkuri ke matahari, karena itu waktu revolusinya (peredaran bumi dan planet lain mengelingi matahari) hanya butuh waktu 4.5 hari.
Yang mengherankan ilmuwan adalah volume planet ini jauh lebih besar satu kali lipat lebih dibanding Jupiter, tapi, bobotnya hanya setengah-nya Jupiter. Menurut teori pembentukan planet saat ini, bahwa benda langit yang demikan besar tapi begitu ringan ini tidak semestinya eksis. Dalam konfrensi persnya, seorang astrofiksikawan mengatakan : kami telah menemukan satu benda langit baru yang sangat unik, dan benda langit ini benar-benar membingungkan kami.Ahli dari Badan Antariksa Nasional Amerika menuturkan, bahwa bentuk dan struktur planet sangat besar dan bersuhu tinggi ketika lahir, namun, butuh energi jika hendak menjaga kondisi demikian, karena itu setelah terbentuk bukan saja suhunya akan menurun tapi volumenya juga akan mengecil.
Masalah dalam planet baru ini terletak pada suhu yang dipertahankanya tapi tidak menyusut, ini berarti ia mempunyai sejumlah besar kalor internal yang berkesinambungan sehingga segenap planet tersebut memuai, namun, ilmuwan tidak habis mengerti terhadap sumber-sumber energi ini. Ilmuwan terkait lainnya mengatakan, bahwa mereka akan membandingkan lapisan atmosfer planet ini dengan lapisan atmosfer bumi zaman dulu untuk memastikan apakah planet ini bisa eksis atau tidak.
( Ingin mengetahui berita yang lebih banyak www.amarullahfatimah.com )

IBU

I b u Ibuku.. oh .. ibu... Betapa ikhlas kau menyayangiku Jiwamu tulus memeliharaku Tiada mengharap mengharap balasanku Ya Allah Tuhanku.. Bukakanlah pintu ampunan-Mu Curahilah dia dengan rahmad-Mu Dia merawatku sejak kecilku Oh ibu.. kini aku jauh darimu Ingin ku luruh di pangkuanmu... Rengkuhlah aku dengan doa malammu S'moga Dia membimbing langkahku Oh ibu.. kini air mataku berderai Rindu belai kasih sayangmu Dengan ketulusan hati yang dalam Maafkanlah anakmu ini..... Ibu Doakanlah ibu doakanlah ku akan melangkah menyusuri waktu menjemput citaku ibu lepaskanlah ku ke laut biru akan kuarungi akan kuseberangi ibu doakanlah ku sedang melangkah menjalani hari menjemput harapku ibu lepaskanlah ku dengan maafmu tentramkan hatiku menempuh hidupku doamu oh ibu selalu kunanti tulus dan suci dari relung hati doamu oh ibu selalu kunanti mohonkanlah Allah Rabbi besertakan selalu